Jumat, 21 September 2012

Sistem Imun


PENDAHULUAN
Salah satu keunggulan utama dari sistem kekebalan tubuh mamalia adalah kemampuan untuk menghasilkan klon limfosit, masing-masing dengan kemampuan yang unik untuk mengenali dan berkembang biak dalam kehadiran Ag tertentu. Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh ini dikatakan memiliki kedua memori (kemampuan untuk merespon dengan cepat setelah re-eksposur ke Ag tertentu) dan spesifisitas. Sistem kekebalan tubuh mungkin pertama kali berevolusi> 500 juta tahun yang lalu dengan evolusi (Gnathostomate) vertebrata berahang pertama. Meskipun beberapa indikasi awal > 30 tahun yang lalu bahwa invertebrata juga memiliki sistem (adaptif) khusus kekebalan berdasarkan ekspansi klonal dari pengaktifan limfosit yang telah menjadi dogma sentral immunologis evolusi pada invertebrata, keberadaan sel limfosit dan fungsional Ab sangat bergantung sepenuhnya pada kekebalan bawaan sebagai mekanisme utama mereka pertahanan terhadap parasit dan patogen.
ISI
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Resistensi dapat dilihat dari kelangsungan hidup maupun respon imun yang diberikan berupa reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya (Kurtz and Franz, 2003).
Pengetahuan tentang sistem imun udang diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea (avertebrata) dalam hal ini juga udang merupakan sistem imun non spesifik (berperan besar). Seperti vertebrata, garis pertahanan pertama berupa physico-barriers yang sangat efektif juga dimiliki avertebrata. Misalnya skeleton eksternal yang kokoh yang mencegah masuknya agen penyakit. Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi yang terbuka, sel darah disebut dengan hemosit atau coelomocytes (Kurtz and Franz, 2003).
Berbeda dengan vertebrata, imunitas avertebrata tidak berdasarkan pada imunoglobulin dan interaksi subpopulasi limfosit dalam hal ini tidak memproduksi antibodi spesifik atau antibodi sangat sedikit pada krustasea. Namun imunitas avertebrata efisien dan adanya interaksi komponen selular dan humoral. Sejak dulu dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan sejumlah faktor humoral seperti lisosim (Kurtz and Franz, 2003).
Organisme krustasea akuatik yang hidup pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, air laut maupun payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya. Oleh karena itu krustasea tersebut harus mampu meningkatkan pertahanan yang efisien untuk melawan organisme penyerang. Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau enkapsulasi. Selain itu juga penutupan luka yang cepat untuk mencegah keluarnya hemolim dan juga untuk mencegah mikroorganisme menempel pada luka, juga ada reaksi pada pertahanan krustasea yang disebut clotting (Lorenzon; Giulianini and Ferrero, 1997).
Hemosit penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Ketika sel ini mempunyai morfologi dan fungsinya masing-masing (Lorenzon; Giulianini and Ferrero, 1997).
Sel hialin dicirikan dengan tidak memiliki sitoplasmik yang merupakan agranular, berukuran lebih kecil diantara sel hemosit. Sel ini melakukan fungsinya yaitu aktifitas fagositosis. Sel semi granular dicirikan dengan adanya sejumlah kecil granul. Sel ini tidak stabil in vitro cepat lisis dan melepaskan isinya. Aktifitas fagositosis (terbatas), enkapsulasi, proPO dan sitotoksitas merupakan fungsi dari sel ini. Granular memiliki sejumlah besar granul, dan melakukan fungsi sebagai proPO dan sitotoksis (Kurtz and Franz, 2003).
Skema mekanisme bagaimana faktor-faktor pada sistem pertahanan udang berperan penting dalam respon terhadap partikel non self dapat dilihat pada Gambar 1. Pada mekanisme pertahanan udang terlihat bahwa hemosit yang bersirkulasi berperan sangat penting tidak hanya secara langsung menghambat dan membunuh agen infeksi tetapi juga melalui sintesis dan eksositosis sejumlah molekul biaktif yang aktif (Kurtz and Franz, 2003).
Menurut Kurtz and Franz (2003), fagosit hemosit merupakan salah satu sistem imun non spesifik pada udang. Bagaimana sel ini mengenali stimulan adalah sebagian besar tergantung pada tipe dari permukaan molekul–protein dan karbohidrat yang ditemukan pada permukaan pathogen dan bagaimana tipe molekul ini berbeda dari permukaan sel inang. Pengenalan sel itu sendiri meliputi sejumlah struktur kompleks pada permukaan sel inang dimana hemosit dapat mengenalinya dan menginterpretasikan.

Proses pertama yang penting adalah pengenalan mikroorganisme yang masuk tubuh udang yang dimediasi oleh hemosit dan protein. Pengenalan pathogen melalui pola molekular, dilakukan oleh beberapa protein pengenal yang disebut pattern recognition protein (PRPs). Protein ini bisa mengenali karbohidrat dari komponen dinding sel mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) bakteri (Le Moullac and Haffner, 2000).
Secara singkat dikatakan bahwa hemosit melakukan reaksi inflammatory-type seperti fagositosis, penggumpalan hemosit, menghasilkan reactive oxgygen metabolites dan melepaskan Protein mikrobisidal (Smith et al. 2003). Selain itu reaksi imun yang maksimal dicapai melalui koordinasi dan interaksi antara tipe hemosit atau produknya (Gambar 1). Protein kunci dalam sistem imun adalah peroxinectin (Le Moullac and Haffner, 2000).
Hemosit udang berperan penting pada awal dan memelihara respon imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi) merupakan sel kompoten immunology yang tertua dan sangat konsisten). Untuk mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifasi dimana termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif berserat (crenellated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu) yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen. Juga yang sangat penting bahwa nyatanya sel ini memproduksi sejumlah rangkaian perubahan metabolik yang hasilnya berupa diproduksinya sejumlah sitosin dan komponen penting lainnya, yang berperan sebagai pengaturan bagian dalam dari sistem imun. Pengaktifan dapat diawali dengan beberapa rangsangan, seperti endotoxins, bakteri dan virus, dan juga oleh bahan kimia seperti polisakarida. Pengecualian bagi polisakarida, kebanyakan stimulan imun dapat bersifat racun atau patogenik untuk digunakan dalam praktek budidaya (Litman;  Cannon and. Dishaw, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa imunostimulan tertentu misalnya β-glukan, polisakarida dan peptidoglikan mengaktifkan aktifitas phenoloxidase (PO). Phenoloxidase merupakan suatu enzim yang paling penting yang terlibat dalam sistem imun alami avertebrata (Cerenius and Söderhäll, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa dengan aktifnya sistem proPO (prophenoloxidase) bisa lebih meningkatkan mekanisme sistem pertahanan udang (Litman;  Cannon and. Dishaw, 2005).
Prophenoloxidase (proPO) dan phenoloxidase dilibatkan dalam encapsulation, cell-adhesion, degranulation, cytotoxic, melanization, serta fagositosis selain itu juga berfungsi sebagai sistem non-self recognition. Hal ini dikarenakan dengan aktifasi sistem proPO maka dihasilkan beberapa protein seperti peroxincetin, transglutamin Dan clotting protein. Udang yang sakit terlihat lemah dan sensitif terhadap stress, berenang dekat permukaan air dan berada pada pinggir kolam. Rangkanya menjadi lunak, buram dan gelap, bekuan hemolim lambat dan bakteri terlihat dengan pengamatan langsung menggunakan dark field mikroskop. Infeksi dari bakteri vibrio pada udang penaeid biasanya berasosiasi juga dengan bakteri Gramnegatif batang lainnya (Lorenzon; Giulianini and Ferrero, 1997).
Infeksi bakteri pada udang dapat menempati tiga tempat (bentuk) yaitu: spots pada cutikula (disebut penyakit bacterial shell), lokasi infeksi pada usus atau hepatopancreas dan generalized septicemia. Parameter imun udang antara lain haemocyte count, phenoloxidase activity, respiratory burst, superoxidase dismutase activity, phagocytic activity dan clearance efficiency dari Litopenaeus vannamei dan kerentanan terhadap Vibrio spp. ketika udang diberi (disuntik) dengan imunostimulan (Selvin; Huxleya; Lipton, 2004).

PENUTUP
1.      Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi.
2.      Pertahanan krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau enkapsulasi
3.       Hemosit penting dalam menghilangkan partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular.


DAFTAR PUSTAKA
Kurtz, J., K. Franz. 2003. Evidence for memory in invertebrate immunity. Nature 425: 37-38.
Le Moullac, G., & Haffner, P.2000. Environmental factors affecting immune responses in
Krustasea. Aquaculture, 191(1-3), 121-131.
Litman, G. W., J. P. Cannon, L. J. Dishaw. 2005. Reconstructing immune phylogeny: new
perspectives. Nat. Rev. Immunol. 5: 866-879. 
Lorenzon, S., Giulianini, P. G., & Ferrero, E. A. 1997. Lipopolysaccharide-induced
hyperglycaemia is mediated by CHH release in krustaseans. General and Comparative
Endocrinology, 108, 395-405.
Selvin, J., Huxleya, A.J., Lipton, A.P. 2004. Immunomodulatory potential of marine secondary metabolites against bacterial diseases of shrimp. Aquaculture 230 : 241–248

Tidak ada komentar: