PENDAHULUAN
Salah satu keunggulan utama dari sistem
kekebalan tubuh mamalia adalah kemampuan untuk menghasilkan klon limfosit,
masing-masing dengan kemampuan yang unik untuk mengenali dan berkembang biak
dalam kehadiran Ag tertentu. Oleh karena itu, sistem kekebalan tubuh ini
dikatakan memiliki kedua memori (kemampuan untuk merespon dengan cepat setelah
re-eksposur ke Ag tertentu) dan spesifisitas. Sistem kekebalan tubuh mungkin
pertama kali berevolusi> 500 juta tahun yang lalu dengan evolusi (Gnathostomate) vertebrata berahang
pertama. Meskipun beberapa indikasi awal > 30 tahun yang lalu bahwa
invertebrata juga memiliki sistem (adaptif) khusus kekebalan berdasarkan
ekspansi klonal dari pengaktifan limfosit yang telah menjadi dogma sentral
immunologis evolusi pada invertebrata, keberadaan sel limfosit dan fungsional
Ab sangat bergantung sepenuhnya pada kekebalan bawaan sebagai mekanisme utama
mereka pertahanan terhadap parasit dan patogen.
ISI
Imunitas adalah resistensi terhadap
penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem imun merupakan gabungan
sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi. Resistensi
dapat dilihat dari kelangsungan hidup maupun respon imun yang diberikan berupa
reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan
lainnya (Kurtz and Franz, 2003).
Pengetahuan tentang sistem imun udang
diawali dari pemahaman sistem imun pada krustasea, dimana udang merupakan
bagian dari krustasea (avertebrata). Sistem imun krustasea (avertebrata) dalam
hal ini juga udang merupakan sistem imun non spesifik (berperan besar). Seperti
vertebrata, garis pertahanan pertama berupa physico-barriers yang sangat
efektif juga dimiliki avertebrata. Misalnya skeleton eksternal yang kokoh yang
mencegah masuknya agen penyakit. Kebanyakan avertebrata mempunyai sirkulasi
yang terbuka, sel darah disebut dengan hemosit atau coelomocytes (Kurtz and Franz, 2003).
Berbeda dengan vertebrata, imunitas
avertebrata tidak berdasarkan pada imunoglobulin dan interaksi subpopulasi
limfosit dalam hal ini tidak memproduksi antibodi spesifik atau antibodi sangat
sedikit pada krustasea. Namun imunitas avertebrata efisien dan adanya interaksi
komponen selular dan humoral. Sejak dulu dikatakan bahwa imunitas avertebrata dipengaruhi
oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan sejumlah faktor
humoral seperti lisosim (Kurtz and Franz, 2003).
Organisme krustasea akuatik yang hidup
pada lingkungan budidaya (akuakultur) baik pada habitat air tawar, air laut maupun
payau sering rentan terkena infeksi baik oleh parasit maupun patogen lainnya.
Oleh karena itu krustasea tersebut harus mampu meningkatkan pertahanan yang efisien
untuk melawan organisme penyerang. Pertahanan krustasea sebagian besar
berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel ini bisa menghilangkan
partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui aktifitas fagositosis atau
enkapsulasi. Selain itu juga penutupan luka yang cepat untuk mencegah keluarnya
hemolim dan juga untuk mencegah mikroorganisme menempel pada luka, juga ada
reaksi pada pertahanan krustasea yang disebut clotting (Lorenzon; Giulianini and Ferrero, 1997).
Hemosit penting dalam menghilangkan
partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim
udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular. Ketika sel ini
mempunyai morfologi dan fungsinya masing-masing (Lorenzon; Giulianini and Ferrero, 1997).
Sel hialin dicirikan dengan tidak
memiliki sitoplasmik yang merupakan agranular, berukuran lebih kecil diantara
sel hemosit. Sel ini melakukan fungsinya yaitu aktifitas fagositosis. Sel semi
granular dicirikan dengan adanya sejumlah kecil granul. Sel ini tidak stabil in
vitro cepat lisis dan melepaskan isinya. Aktifitas fagositosis (terbatas),
enkapsulasi, proPO dan sitotoksitas merupakan fungsi dari sel ini. Granular
memiliki sejumlah besar granul, dan melakukan fungsi sebagai proPO dan
sitotoksis (Kurtz
and Franz, 2003).
Skema mekanisme bagaimana faktor-faktor
pada sistem pertahanan udang berperan penting dalam respon terhadap partikel
non self dapat dilihat pada Gambar 1. Pada mekanisme pertahanan udang terlihat
bahwa hemosit yang bersirkulasi berperan sangat penting tidak hanya secara
langsung menghambat dan membunuh agen infeksi tetapi juga melalui sintesis dan
eksositosis sejumlah molekul biaktif yang aktif (Kurtz and Franz, 2003).
Menurut Kurtz and Franz (2003), fagosit
hemosit merupakan salah satu sistem imun non spesifik pada udang. Bagaimana sel
ini mengenali stimulan adalah sebagian besar tergantung pada tipe dari
permukaan molekul–protein dan karbohidrat yang ditemukan pada permukaan
pathogen dan bagaimana tipe molekul ini berbeda dari permukaan sel inang.
Pengenalan sel itu sendiri meliputi sejumlah struktur kompleks pada permukaan
sel inang dimana hemosit dapat mengenalinya dan menginterpretasikan.
Proses pertama yang penting adalah
pengenalan mikroorganisme yang masuk tubuh udang yang dimediasi oleh hemosit
dan protein. Pengenalan pathogen melalui pola molekular, dilakukan oleh
beberapa protein pengenal yang disebut pattern recognition protein (PRPs).
Protein ini bisa mengenali karbohidrat dari komponen dinding sel
mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) bakteri
(Le Moullac and Haffner, 2000).
Secara singkat dikatakan bahwa hemosit
melakukan reaksi inflammatory-type seperti fagositosis, penggumpalan hemosit,
menghasilkan reactive oxgygen metabolites dan melepaskan Protein mikrobisidal
(Smith et al. 2003). Selain itu reaksi imun yang maksimal dicapai melalui
koordinasi dan interaksi antara tipe hemosit atau produknya (Gambar 1). Protein
kunci dalam sistem imun adalah peroxinectin (Le Moullac and Haffner, 2000).
Hemosit udang berperan penting pada awal
dan memelihara respon imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan
tingkat tinggi) merupakan sel kompoten immunology yang tertua dan sangat
konsisten). Untuk mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan
aktifasi dimana termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak
diaktifkan cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang
aktif berserat (crenellated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu)
yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen. Juga yang
sangat penting bahwa nyatanya sel ini memproduksi sejumlah rangkaian perubahan
metabolik yang hasilnya berupa diproduksinya sejumlah sitosin dan komponen
penting lainnya, yang berperan sebagai pengaturan bagian dalam dari sistem
imun. Pengaktifan dapat diawali dengan beberapa rangsangan, seperti endotoxins,
bakteri dan virus, dan juga oleh bahan kimia seperti polisakarida. Pengecualian
bagi polisakarida, kebanyakan stimulan imun dapat bersifat racun atau patogenik
untuk digunakan dalam praktek budidaya (Litman;
Cannon and. Dishaw, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
imunostimulan tertentu misalnya β-glukan,
polisakarida dan peptidoglikan mengaktifkan aktifitas phenoloxidase (PO).
Phenoloxidase merupakan suatu enzim yang paling penting yang terlibat dalam
sistem imun alami avertebrata (Cerenius and Söderhäll, 2004). Lebih lanjut
dikatakan bahwa dengan aktifnya sistem proPO (prophenoloxidase) bisa lebih
meningkatkan mekanisme sistem pertahanan udang (Litman;
Cannon and. Dishaw, 2005).
Prophenoloxidase (proPO) dan
phenoloxidase dilibatkan dalam encapsulation, cell-adhesion, degranulation,
cytotoxic, melanization, serta fagositosis selain itu juga berfungsi sebagai
sistem non-self recognition. Hal ini dikarenakan dengan aktifasi sistem proPO
maka dihasilkan beberapa protein seperti peroxincetin, transglutamin Dan
clotting protein. Udang yang sakit terlihat lemah dan sensitif terhadap stress,
berenang dekat permukaan air dan berada pada pinggir kolam. Rangkanya menjadi
lunak, buram dan gelap, bekuan hemolim lambat dan bakteri terlihat dengan
pengamatan langsung menggunakan dark field mikroskop. Infeksi dari bakteri
vibrio pada udang penaeid biasanya berasosiasi juga dengan bakteri Gramnegatif
batang lainnya (Lorenzon;
Giulianini and Ferrero, 1997).
Infeksi bakteri pada udang dapat
menempati tiga tempat (bentuk) yaitu: spots pada cutikula (disebut penyakit
bacterial shell), lokasi infeksi pada usus atau hepatopancreas dan generalized
septicemia. Parameter imun udang antara lain haemocyte count, phenoloxidase
activity, respiratory burst, superoxidase dismutase activity, phagocytic
activity dan clearance efficiency dari Litopenaeus vannamei dan kerentanan
terhadap Vibrio spp. ketika udang diberi (disuntik) dengan imunostimulan (Selvin; Huxleya; Lipton, 2004).
PENUTUP
1. Imunitas
adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Sedangkan sistem
imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi.
2. Pertahanan
krustasea sebagian besar berdasarkan pada aktifitas sel darah atau hemosit. Sel
ini bisa menghilangkan partikel asing pada tubuh krustasea akuatik melalui
aktifitas fagositosis atau enkapsulasi
3.
Hemosit penting dalam menghilangkan
partikel asing yang masuk tubuh udang. Terdapat tiga tipe hemosit pada hemolim
udang (krustasea) yaitu sel hialin, semi granular dan granular.
DAFTAR
PUSTAKA
Kurtz, J., K. Franz. 2003. Evidence for
memory in invertebrate immunity. Nature 425: 37-38.
Le Moullac, G.,
& Haffner, P.2000. Environmental
factors affecting immune responses in
Krustasea. Aquaculture, 191(1-3), 121-131.
Litman, G. W., J. P.
Cannon, L. J. Dishaw. 2005. Reconstructing immune phylogeny: new
perspectives. Nat. Rev. Immunol. 5: 866-879.
Lorenzon, S., Giulianini, P. G., & Ferrero, E. A.
1997. Lipopolysaccharide-induced
hyperglycaemia is mediated by CHH release in krustaseans. General and Comparative
Endocrinology, 108, 395-405.
Selvin, J., Huxleya, A.J., Lipton, A.P. 2004. Immunomodulatory potential of marine secondary metabolites against
bacterial diseases of shrimp. Aquaculture
230 : 241–248
Tidak ada komentar:
Posting Komentar