Polymerase Chain Reaction (PCR) atau
reaksi berantai polymerase adalah metode enzimatis untuk melipatgandakan (amplification)
secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro (Newton
and Graham, 1994). Metode ini ditemukan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985,
seorang saintis dari perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR ini pada
awalnya hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat digunakan untuk melipatgandakan molekul mRNA (Doyle and
Doyle, 1987).
Metode PCR dapat melipatgandakan suatu fragmen molekul DNA menjadi
molekul DNA (110 bp / 5 x 10-19) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20
siklus reaksi selama 220 menit (Newton and Graham, 1994). Kelebihan dari metode
PCR adalah DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih
dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu sekuen
DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampurkan kultur bakteri di dalam
tabung PCR (Azrai, 2005).
Penggunaan metode PCR diperlukan empat komponen utama, yakni DNA
cetakan, oligonukleotida primer, deosiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang
terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan) enzim polimerase yang digunakan untuk
mengkatalis reaksi sintesis rantai DNA. Proses PCR terdiri dari tiga tahap,
yakni denaturasi, penempelan (annealing), dan amplifikasi. Pada tahap
denaturasi, suatu fragmen DNA (duoble strand) dipanaskan pada suhu 95 0C
selama 1-2 menit sehingga akan terpisah menjadi rantai tunggal (single strand).
Kemudian dilakukan penempelan (annealing) pada suhu 55 0C selama1-2
menit, yakni oligonukleotida primer menempel pada DNA cetakan yang komplementer
dengan sekuen primer. Setelah dilakukan penempelan, suhu dinaikkan menjadi 72
0C selama 1,5 menit. Pada suhu ini, enzim DNA polimerase akan melakukan poses
polimerasi, yakni rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan
DNA cetakan. Proses ini disebut amplifikasi (Triwibowo, 2006).
Berdasarkan pasangan primer yang digunakan dalam teknik PCR, maka
ada dua macam teknik PCR yaitu (i) metode yang menggunakan sepasang primer
(primer yang ditempatkan di awal dan di akhir unit transkripsi) dimana
primer-primer tersebut sangat spesifik urutannya untuk menyambungkan dirinya
dengan segmen DNA; dan (ii) metode yang menggunakan primer tunggal (primer yang
ditempatkan di awal unit transkripsi atau di akhir unit transkripsi)
(Triwibowo, 2006).
Metode PCR dengan primer tunggal, meliputi : AP-PCR (Arbitrary
Primed PCR), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan DAF (DNA
Amplification Fingerprinting) maupun Amplifikasi dari DNA/VNTRs dan Retroposon.
Persamaan dari ketiga teknik ini adalah adanya urutan acak dari primer,
baik yang bekerja ke arah kanan maupun ke arah kiri dari sejumlah lokus.
Perbedaan dari ketiga teknik tersebut terdapat pada panjang-pendeknya primer,
dimana untuk AP-PCR sekitar 20 basa nukleotida, RAPD sekitar 10 basa nukleotida
dan DAF sekitar 6-8 nukleotida (Lepais
and Bacles, 2011).
Dilaporkan pula bahwa hasil visualisasi dari AP-PCR dan RAPD
relatif sama, sehingga orang lebih menyukai RAPD karena dengan ukuran primer
yang lebih sedikit (~10 basa nukleotida) memberikan hasil yang tidak berbeda
dengan APPCR yang memiliki ukuran primer lebih besar (~20 basa nukleotida)
(Nanda et. al., 2004).
Metode PCR dengan menggunakan sepasang primer, yang meliputi :
STSs (Sequence-Tagged Sites) dan SCARs (Sequence Characterized
Amplified Regions), DALP (Direct Amplification of Length
Polymorphism), SSRs (Simple Sequence Repeats), IFLP (Intron
Fragment Length Polymorphism), ESTs (Expressed Sequence Tags), RAMP
(Random Amplified Microsatellite Polymorphism) dan REMAP (Retroposon-Microsatellite
Amplified Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)
dan modifikasinya, SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) (Young
et al., 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar