Jumat, 21 September 2012

PCR


Polymerase Chain Reaction (PCR) atau reaksi berantai polymerase adalah metode enzimatis untuk melipatgandakan (amplification) secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu secara in vitro (Newton and Graham, 1994). Metode ini ditemukan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985, seorang saintis dari perusahaan CETUS Corporation. Metode PCR ini pada awalnya hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul DNA, akan tetapi dalam perkembangannya dapat digunakan untuk melipatgandakan molekul mRNA (Doyle and Doyle, 1987).
Metode PCR dapat melipatgandakan suatu fragmen molekul DNA menjadi molekul DNA (110 bp / 5 x 10-19) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Newton and Graham, 1994). Kelebihan dari metode PCR adalah DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampurkan kultur bakteri di dalam tabung PCR (Azrai, 2005).
Penggunaan metode PCR diperlukan empat komponen utama, yakni DNA cetakan, oligonukleotida primer, deosiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan) enzim polimerase yang digunakan untuk mengkatalis reaksi sintesis rantai DNA. Proses PCR terdiri dari tiga tahap, yakni denaturasi, penempelan (annealing), dan amplifikasi. Pada tahap denaturasi, suatu fragmen DNA (duoble strand) dipanaskan pada suhu 95 0C selama 1-2 menit sehingga akan terpisah menjadi rantai tunggal (single strand). Kemudian dilakukan penempelan (annealing) pada suhu 55 0C selama1-2 menit, yakni oligonukleotida primer menempel pada DNA cetakan yang komplementer dengan sekuen primer. Setelah dilakukan penempelan, suhu dinaikkan menjadi 72 0C selama 1,5 menit. Pada suhu ini, enzim DNA polimerase akan melakukan poses polimerasi, yakni rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. Proses ini disebut amplifikasi (Triwibowo, 2006).
Berdasarkan pasangan primer yang digunakan dalam teknik PCR, maka ada dua macam teknik PCR yaitu (i) metode yang menggunakan sepasang primer (primer yang ditempatkan di awal dan di akhir unit transkripsi) dimana primer-primer tersebut sangat spesifik urutannya untuk menyambungkan dirinya dengan segmen DNA; dan (ii) metode yang menggunakan primer tunggal (primer yang ditempatkan di awal unit transkripsi atau di akhir unit transkripsi) (Triwibowo, 2006).
Metode PCR dengan primer tunggal, meliputi : AP-PCR (Arbitrary Primed PCR), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) dan DAF (DNA Amplification Fingerprinting) maupun Amplifikasi dari DNA/VNTRs dan Retroposon. Persamaan dari ketiga teknik ini adalah adanya urutan acak dari primer, baik yang bekerja ke arah kanan maupun ke arah kiri dari sejumlah lokus. Perbedaan dari ketiga teknik tersebut terdapat pada panjang-pendeknya primer, dimana untuk AP-PCR sekitar 20 basa nukleotida, RAPD sekitar 10 basa nukleotida dan DAF sekitar 6-8 nukleotida (Lepais and Bacles, 2011).
Dilaporkan pula bahwa hasil visualisasi dari AP-PCR dan RAPD relatif sama, sehingga orang lebih menyukai RAPD karena dengan ukuran primer yang lebih sedikit (~10 basa nukleotida) memberikan hasil yang tidak berbeda dengan APPCR yang memiliki ukuran primer lebih besar (~20 basa nukleotida) (Nanda et. al., 2004).
Metode PCR dengan menggunakan sepasang primer, yang meliputi : STSs (Sequence-Tagged Sites) dan SCARs (Sequence Characterized Amplified Regions), DALP (Direct Amplification of Length Polymorphism), SSRs (Simple Sequence Repeats), IFLP (Intron Fragment Length Polymorphism), ESTs (Expressed Sequence Tags), RAMP (Random Amplified Microsatellite Polymorphism) dan REMAP (Retroposon-Microsatellite Amplified Polymorphism), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism) dan modifikasinya, SSCP (Single Strand Conformation Polymorphism) (Young et al., 2000).

Tidak ada komentar: